Kegelapan dalam Keluarga Sedarah

Viona adalah seorang remaja yatim piatu berusia 16 tahun yang tinggal di sebuah kota besar di Pulau Jawa. Kehidupan sebagai seorang yatim piatu membuatnya bertekad untuk hidup mandiri di mana pun dan kapan pun. Viona memiliki seorang adik perempuan bernama Nara yang saat ini berusia 12 tahun.

Ketika Viona berusia 15 tahun, orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis. Setelah kejadian itu, Viona dan adiknya, Nara, diadopsi oleh Tante Laras, adik dari ayahnya. Pada awalnya, Tante Laras memperlakukan Viona dengan sangat baik. Namun, setelah uang asuransi jiwa orang tua Viona cair, sikap Tante Laras berubah drastis. Viona dan Nara diperlakukan semena-mena, seolah-olah dia hanya menumpang hidup di rumah tantenya.

Setiap hari, Tante Laras selalu menyindir Viona dengan cara yang halus namun menyakitkan, seolah-olah Viona hidup gratis di rumahnya. Suatu ketika, Viona tidak tahan lagi dengan perlakuan keluarga Tante Laras. Pada hari itu, Viona bangun kesiangan karena sakit panas yang dideritanya sehari sebelumnya. Saat itulah, Tante Laras melemparkan ember penuh air bekas pengepelan ke arah Viona.

“Enak ya, numpang hidup di sini, malas-malasan bangun siang. Harus ya tante yang mengepel semua lantai rumah sedangkan kamu enak-enakan malasan!” teriak Tante Laras sambil mencaci maki Viona.

Nara yang mendengar keributan dikamarnya langsung menuju kamar dan melihat kakaknya yang sudah basah kuyup. Viona tidak bisa berkata apa-apa. Tubuhnya masih demam dan pusing, ditambah lagi air kotor bekas pengepelan yang kini membasahi seluruh tubuhnya. Sementara itu, Tante Laras terus memaki-maki tanpa henti. Viona dan Nara hanya bisa menangis sejadi-jadinya, tak mampu menahan rasa sakit hati akibat cacian tantenya sendiri.

Malam hari setelah kejadian itu, Viona dan Nara memutuskan untuk kabur dari rumah tantenya. Dengan hati yang penuh luka, mereka melangkah pergi, bertekad untuk menemukan jalan hidupnya sendiri.

 

Gosip yang Menjadi Bom Waktu

Saat ini, Viona tinggal bersama Nara di sebuah rumah kecil yang sedikit kumuh di tengah kota. Meskipun tempat tinggal mereka tidak layak huni, Viona merasa sedikit lebih bahagia. Setiap hari, Viona bekerja dari satu tempat ke tempat lainnya, menerima pekerjaan apa saja tanpa peduli berapa banyak yang akan dia dapatkan.

Di sekolah, Viona dibantu oleh beasiswa yang memungkinkan dia untuk melanjutkan pendidikannya. Terlepas dari kehidupannya yang padat dengan pekerjaan, Viona adalah seorang pelajar berprestasi. Banyak guru sering meminta bantuannya karena mereka menganggap Viona sebagai siswa yang dapat diandalkan.

Namun, keberhasilan Viona di sekolah membuat beberapa siswa membencinya. Mereka melabeli Viona sebagai pencari muka. Beberapa dari mereka bahkan menyebarkan gosip bahwa Viona menjual dirinya kepada guru demi mendapatkan beasiswa atau nilai bagus.

Viona mengetahui gosip-gosip tersebut, tetapi dia lebih memilih untuk fokus mengubah nasibnya dan Nara menjadi lebih baik. Siapa sangka, gosip-gosip itu menjadi bom waktu di masa depan. Semakin lama, semakin banyak orang yang mempercayai gosip tersebut. Hingga suatu ketika, mereka yang mengaku sebagai teman Viona malah menjadi orang asing baginya.

Meski begitu, Viona tetap tegar menjalani kehidupannya yang berat. Dia bertekad untuk terus maju, tidak peduli seberapa sulit jalan yang harus ditempuh.

 

Penghakiman yang Tak Seharusnya

Kini, akhir semester sudah di depan mata. Viona kini berada di kelas 2 dan akan segera menjadi senior di kelas 3. Seperti tradisi yang sudah ada sejak dulu, sekolah Viona akan mengadakan study tour, dan tujuan tahun ini adalah Bali, sebuah pulau kecil yang terkenal dengan keindahan alam dan budayanya. Viona mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan tersebut secara gratis karena pihak sekolah merasa sering dibantu olehnya.

Awalnya, Viona merasa ragu untuk meninggalkan Nara yang masih kecil selama 3 hari 2 malam. Namun, setelah Nara berhasil meyakinkan kakaknya bahwa dia juga bisa hidup mandiri, akhirnya Viona memutuskan untuk ikut study tour.

Selama perjalanan, ternyata banyak hal yang tidak sesuai dengan ekspektasinya. Bali menjadi tempat yang macet dan banyak sampah berserakan di jalanan. Pengendara sepeda motor pun tidak tertib. Semua ini jauh dari bayangan Viona sebelumnya. Selain itu, perlakuan teman-temannya yang tidak menyenangkan juga memberikan kesan buruk tersendiri.

Meskipun begitu, Viona masih sangat senang bisa berkunjung ke Bali dan ia berjanji pada dirinya sendiri akan mengajak Nara di kesempatan berikutnya.

Di hari ketiga sebelum kembali ke Jawa, sekolah Viona mampir ke sebuah taman nasional di Bali Barat. Sesampainya di sana, para siswa diberikan waktu bebas. Tiba-tiba, tiga siswa perempuan menarik paksa Viona dan membawanya ke suatu tempat yang jauh dari kerumunan guru. Di tempat tersebut sudah ada beberapa siswa, baik laki-laki maupun perempuan, yang sudah menunggu.

Di sana, Viona diteriaki dengan sebutan-sebutan yang tidak pantas seperti lonte, pelacur, dan lain-lain. Semua siswa di sana, sambil merekam dengan handphone mereka, memaksa agar Viona mengakui bahwa dirinya adalah pelacur untuk guru-gurunya demi mendapatkan nilai bagus atau beasiswa. Suasana saat itu sangat kejam, beberapa ada yang melemparkan sampah, ada juga yang berusaha mencoret atau merobek baju Viona.

Kondisi ini membuat Viona teringat kembali pada kenangan buruk bersama tantenya. Tanpa disadari, Viona mulai menangis dan berjalan mundur, menghindari kerumunan siswa-siswa yang ingin mempermalukannya. Viona semakin terpojok, kini berdiri tepat di atas bebatuan yang di bawahnya ada sungai yang mengalir deras.

Dari kejauhan, seorang guru mulai terlihat dan meneriakkan, “Hei! Apa yang kalian lakukan!?” Beberapa siswa mulai kabur karena takut ketahuan sebagai pelaku perundungan terhadap Viona. Namun, ada seorang siswa perempuan yang satu kelas dengan Viona, bernama Ratu. Ratu adalah siswa pertama yang menyebarkan gosip tentang Viona. Di saat semua siswa panik berhamburan, Ratu sengaja mendekati Viona yang masih menangis dan kemudian mendorongnya jatuh ke sungai.

Melihat hal tersebut, guru yang berteriak tadi langsung berlari ke arah Viona dan Ratu. Namun terlambat, Viona telah tercebur ke sungai dan hanyut terbawa derasnya arus. Belum ada satu menit, guru tersebut tidak dapat menemukan Viona lagi dalam pandangannya.

 

Hutan Sakral di Sisi yang Berbeda

Viona yang pingsan akhirnya mulai tersadar, tetapi dia merasa aneh dengan kondisi sekitarnya. Saat ini, Viona berada di tepi sungai yang airnya sangat jernih namun berbusa. Di depannya, terdapat hutan yang sangat lebat dan gelap, didominasi oleh pohon beringin. Dedaunan pada pohon-pohon tersebut banyak yang layu, namun bukan menjadi coklat, melainkan hitam pekat seperti tercemar. Banyak kubangan lumpur di sekitar yang mengeluarkan asap berbau tidak sedap. Langit di sana cerah tetapi berwarna abu-abu, bukan biru seperti biasanya. Viona merasa bingung dan akhirnya mulai panik karena tidak mengenali tempat di mana dia berada.

Viona pun teringat tentang apa yang terjadi dan mulai menangis, merasa bahwa apa yang terjadi padanya sangat tidak adil. Dia selalu berusaha untuk tidak merugikan orang lain dan selalu mengabaikan orang-orang yang mengganggunya. Pikiran yang penuh akhirnya membuatnya teringat bahwa dia didorong oleh Ratu. Viona kini menduga dirinya berada di alam yang berbeda karena mati, yang membuatnya menjadi histeris.

“Apa aku mati?! Tolong, aku tidak siap mati! Nara! Aku tidak bisa meninggalkan Nara sendiri! Tolong!!” teriak Viona dengan putus asa.

Dari kejauhan, tiba-tiba seekor rubah berbulu putih namun kusut mendekati Viona. Rubah tersebut tiba-tiba menempelkan badan dan ekornya ke kaki Viona.

Viona yang sudah putus asa mengangkat rubah tersebut dan memeluknya. Secara ajaib, rubah yang lemas dengan bulu kusut itu berubah menjadi bercahaya dengan bulu yang halus. Setelah merasa tenang, Viona melepaskan rubah tersebut. Si rubah berjalan pelan masuk ke arah hutan sambil melihat ke arah Viona. Karena Viona tidak merespons, rubah itu kembali ke Viona dan menggigit serta menarik tali sepatu Viona. Setelah mengerti apa maksudnya, akhirnya Viona berjalan mengikuti si rubah hingga mereka tiba di sebuah desa yang sangat tradisional.

 

Desa Gaib Tengah Hutan Sakral

Pandangan Viona kini tertuju pada satu titik, sebuah desa dengan tampilan yang sangat tradisional. Setelah melewati gapura desa tersebut, Viona merasa takjub dengan pemandangan yang ia lihat. Jalan setapak yang sempit, berliku, dan terbuat dari tanah liat merah menghubungkan satu rumah ke rumah lainnya. Rumah-rumah di desa ini dibangun dengan arsitektur tradisional Bali, menggunakan bahan-bahan alami seperti bambu, kayu, dan atap jerami yang tebal. Setiap rumah memiliki halaman yang luas dengan tanaman bunga kamboja dan pohon kelapa yang menjulang tinggi namun layu. Sebagian rumah kondisinya tidak terawat.

Di tengah desa tersebut ada bangunan yang menyerupai sebuah pura, dibangun dengan batu andesit yang diukir dengan motif-motif khas Bali, seperti bunga teratai dan naga. Viona kini sadar bahwa rubah yang menuntunnya membawa dia ke tempat tersebut.

Selama berada di desa, Viona tidak bisa mengabaikan pandangan sinis dari banyak orang tua yang melihat ke arahnya dan rubah dengan tatapan tak senang, seakan-akan mereka berusaha mengusirnya. Viona yang kebingungan beberapa kali sempat berhenti, namun rubah itu kembali menarik tali sepatu atau pun ujung celananya agar dia terus mengikuti.

Walau perjalanan ini berat secara mental, akhirnya mereka berdua sampai di depan pura dan segera memasuki bangunan itu. Di dalam pura terdapat seorang kakek tua berpakaian serba putih, sesuai dengan budaya keagamaan di Bali.

“Om Swastyastu,” ucap kakek itu. Viona tidak mengerti maksud dan arti kalimat tersebut. Wajahnya tampak bingung.

“Oh, maaf, saya lupa kamu dari mana. Semoga semua makhluk hidup selalu dalam keadaan baik, itu maksudnya” jelas si kakek.

Viona masih bingung dengan kondisinya. Wajar saja karena dia menganggap dirinya sudah mati dan sedang berada di alam baka.

“Kamu belum mati, Nak,” ucap sang kakek seolah-olah paham apa yang dipikirkan Viona. “Tubuhmu yang asli masih berada di dunia manusia, namun jiwamu telah ditarik ke sini oleh kekuatan yang lebih besar. Kamu saat ini berada di sisi lain dunia manusia, dunia para makhluk sakral. Di sini, ada jiwa-jiwa yang belum menemukan kedamaian, mereka adalah arwah dari yang meninggal namun belum tenang dan menjadi penghuni di sini.”

Mendengar penjelasan tersebut, Viona terkejut dan bingung. Dia tidak mengerti bagaimana bisa berada di dunia arwah, sementara tubuhnya masih hidup di dunia manusia.

“Saya tidak mengerti kenapa Kirana bersedia menolong dan menuntunmu ke sini,” lanjut si kakek.

“Kirana?” tanya Viona.

“Kirana adalah nama rubah itu. Kirana sebenarnya tidak menyukai manusia, sama seperti hampir semua penghuni hutan ini,” jawab si kakek.

“Kenapa begitu, Kek…?” tanya Viona.

“Panggil saja saya Mbah Lembayung. Penduduk di sini memanggil saya begitu. Jadi semua ini terjadi tidak lama…”

Kemudian, Mbah Lembayung mulai menceritakan bagaimana perubahan perilaku masyarakat Bali mempengaruhi hutan sakral tersebut. Dahulu, masyarakat Bali sangat menjaga keharmonisan dengan berbagai tingkatan alam, termasuk alam bawah. Mereka menjaga tak hanya dengan memberikan persembahan tulus ikhlas, tetapi juga dengan menjaga alam agar tetap asri dan bersih. Dahulu, masyarakat Bali tidak peduli dengan hal materialistik sehingga mereka benar-benar melakukan sesuatu karena keikhlasan.

Saat ini, banyak masyarakat Bali yang terbantu oleh teknologi dan pariwisata, membuat banyak dari mereka menjadi lebih kaya daripada yang lain. Persembahan yang diberikan pun semakin besar, namun rasa keikhlasan semakin berkurang. Mereka juga tidak peduli dengan keasrian alam. Sampah ada di mana-mana, mulai di hutan, danau, sungai, bahkan gunung. Kini mereka lebih peduli bagaimana agar pariwisata di Bali tetap berjalan dan jarang berpikir tentang menjaga keharmonisan sekala dan niskala (yang terlihat dan tak terlihat).

Mendengar cerita tersebut, Viona mulai mengerti mengapa orang-orang di desa itu melihatnya secara sinis dan bahkan membenci.

Kemudian, Mbah Lembayung bertanya, “Apakah kamu sadar, ketika Kirana berada di sekitarmu dia lebih terlihat segar bahkan bercahaya? Karena Kirana bisa merasakan keikhlasan di hatimu. Begitulah bagaimana dunia ini bekerja, jika semua orang di Bali kembali menjaga keharmonisan sekala niskala maka alam ini pun akan menjadi lebih baik.”

Mendengar cerita tersebut, jauh di lubuk hati Viona merasa senang karena akhirnya ada yang menghargai keberadaannya.

 

Pertapaan Sang Garuda

Tak lama kemudian, di tengah diskusi antara Viona dan Mbah Lembayung, seekor burung datang dan hinggap di pundak Mbah Lembayung. Setelah beberapa saat, burung itu terbang meninggalkan mereka.

“Viona, sepertinya saya mulai mengerti kenapa kamu berada di hutan ini,” ucap Mbah Lembayung.

Kemudian, Mbah Lembayung memberi tahu Viona agar menuju ke tempat pertapaan Sang Garuda. Di sana, dia akan mendapatkan jawaban bagaimana cara agar bisa kembali ke dunia sekala, yang terlihat. Mbah Lembayung juga mengatakan bahwa Kirana akan mengantarkannya ke tempat tersebut. Beberapa saat kemudian, Mbah Lembayung memberikan sebuah buku yang terlihat sangat tua dan meminta Viona hanya membukanya ketika sudah keluar dari hutan sakral ini.

Tak lama kemudian, Viona berpamitan dengan Mbah Lembayung dan segera mengikuti Kirana yang sudah berjalan di depannya.

Perjalanan yang dilalui Viona dan Kirana sangat panjang dan medannya sulit. Mereka harus melewati berbagai rintangan alam yang menantang. Jalan setapak yang sempit dan berbatu membuat setiap langkah terasa berat. Terkadang, jalan tersebut tertutup oleh akar pohon yang mencuat dari tanah, memaksa mereka untuk melangkah hati-hati agar tidak tersandung.

Setelah melewati jalan berbatu, mereka harus mendaki bukit yang curam. Tanah yang licin karena basah membuat pendakian semakin sulit. Viona beberapa kali harus berhenti sejenak untuk mengatur napas dan memastikan dirinya tidak terpeleset. Kirana, dengan bulu putihnya yang kini sedikit kotor, terus memimpin jalan, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan Viona tetap mengikuti.

Setelah melewati beberapa bukit dan lembah, akhirnya Viona melihat sebuah makhluk yang sangat menakjubkan. Tingginya kira-kira setara dengan gedung tiga lantai di sekolahnya. Bentuknya menyerupai manusia, namun berkepala burung dengan sayap berisi bulu emas di punggungnya. Makhluk itu duduk bersimpuh seperti sedang bertapa.

Setelah tepat berada di depannya, Viona menyimpulkan bahwa makhluk raksasa yang ada di depannya adalah Sang Garuda yang dimaksud oleh Mbah Lembayung. Saat berada di sekitar Sang Garuda, Viona menyadari bahwa udara di sana menjadi hangat dan terasa damai.

Tiba-tiba, sebuah pohon mulai tumbuh dan membesar, lalu mengeluarkan sebuah buah yang berbentuk seperti mangga namun berwarna emas dan bercahaya. Ketika buah itu terjatuh, Kirana segera menuju buah tersebut dan hendak memakannya.

Viona pun mencoba menghalangi Kirana karena takut bahwa buah tersebut tidak seharusnya dimakan.

Tiba-tiba, sebuah suara laki-laki yang sangat berat dan bergema terdengar.

“Biarkan saja, Viona. Itu adalah hadiah untuknya karena mengantarkanmu kepadaku,” ucap Sang Garuda. “Saya Garudeya, keturunan Garuda yang dikirim ke hutan ini untuk menjaga agar alam ini tidak segera rusak. Keberadaanmu di sini sebenarnya tidak disengaja, begitu juga pertemuanmu dengan Kirana, Lembuyang, atau pun saya. Kesucian dan keikhlasanmu menjadi sebuah cahaya dalam kegelapan hutan ini. Oleh karena itu, setelah saya mengetahui kamu di hutan ini maka saya meminta kamu untuk datang ke tempat ini. Di sini, saya memberikan pilihan kepadamu apakah kamu bersedia membantu saya untuk memperpanjang kehidupan hutan ini atau tidak. Tak masalah apa yang kamu pilih. Jika kamu memilih untuk tidak membantu, saya tetap akan menunjukkan jalan agar kamu bisa kembali ke duniamu.”

Viona langsung menjawab dengan sopan, “Jika saya masih sanggup, tentu saja saya akan membantu Anda. Namun, apa yang bisa saya bantu?”

“Bisakah kamu membantu untuk menenggelamkan enam batu ametis ini ke enam sumber mata air berbeda? Perjalanannya akan sangat panjang dan akan ada ujian di setiap pintu masuk sumber mata air. Jika kamu dapat membantu, maka saya akan senang,” jawab Garudeya.

Viona mengiyakan permintaan Garudeya dengan syarat bahwa jika terjadi sesuatu terhadap dirinya, maka Garudeya harus memberitahu Nara apa yang terjadi dan membantu Nara agar dapat hidup mandiri.

Setelah Garudeya mengiyakan permintaan Viona dan memberikan peta ke enam sumber mata air tersebut, Viona dan Kirana melanjutkan perjalanan ke sumber mata air pertama.