Waktu menunjukkan pukul 16.00 namun rimbunnya hutan membuat pemandangan sekitar menjadi gelap. Cahaya yang memaksa masuk hanya mampu memberikan sedikit penerangan dalam perjalanan Sania dan Rihan. Dingin nya udara di kaki gunung Saranjaya yang dibarengkan dengan nuansa hening menciptakan aura mistis tersendiri di hutan tersebut. Pohon – pohon besar seolah hanya melihat tanpa memberi sedikit kata – kata penyambut bagi dua pemuda yang sedang kebingungan itu.
“Sania, kamu yakin di sini tempatnya? Kenapa semakin gelap?” tanya Rihan yang mulai ragu dengan langkah Sania.
“Yakin Han, dari kartu yang dikasih pak Edgar sesaat sebelum mati, kita seharusnya sebentar lagi sampai.” Jawab Sania dengan tenang sambil melanjutkan perjalanan.
Walau mendapat jawaban yang tak ragu dari Sania, nampaknya Rihan belum menunjukkan tanda – tanda kehilangan keraguannya. Benar saja, dia dan Sania telah berjalan hampir 6 jam dan belum sampai ke tempat tujuannya. Tetapi tekad Rihan untuk melindungan orang yang dia kasihi akhirnya membuat dia pasrah mengikuti Sania dan kemana GPS akan membawanya.
Setelah satu jam lagi perjalanan akhirnya Sania melihat sebuah lapangan luas yang berada di kaki gunung Saranjaya. Di lapangan tersebut terdapat panggung kecil setinggi sekitar setengah meter yang terbuat dari bambu dan berisikan 3 buah kursi kayu yang sangat sederhana di depan panggung terdapat 7 buah tiang kayu yang tinggi mungkin sekitar 5 hingga 7 meter dan di atas tiang tersebut terdapat sebuah papan berukuran sekitar 60 x 60 cm yang terbuat juga dari kayu.
“Rihan, kayaknya ini tempat yang dimaksud sama pak Edgar.” Kata Sania yang memecah dinginnya udara di saat itu.
Rihan yang agak terkejut karena sempat melamun akhirnya menjawab, “Terus sekarang bagaimana San?”
“Kata pak Edgar kita tunggu sampai langit siang dan malam bertemu.” Jawab Sania Tenang.
Sekitar satu jam kemudian atau sekitar pukul 18.00 tiba – tiba dari arah hutan yang lain terdengar suara pentungan bambu.
“tung… tung… tung….“ suara pentungan yang lambat membuat Sania dan Rihan kembali fokus memperhatikan lapangan tersebut.
Tak lama kemudian terdapat barisan orang – orang yang dimana pembawa pentungan tersebut berada paling depan kemudian di belakang nya terdapat dua baris yang berjumlah enam orang yang membawa cawan tanah liat yang mengeluarkan asap yang sangat tebal kemudian diikuti barisan oleh orang – orang yang terlihat seperti penjaga gerbang kerajaan di jawa tengah dengan membawa tombak yang berujung keris.
Beberapa saat kemudian terdapat tiga tandu terbuka yang terbuat dari kayu. Namun Sania dan Rihan terlihat kompak dan merasa aneh karena dari tiga tandu tersebut hanya ada dua orang yang berada di atasnya. Tandu kosong itu berada di antara dua tandu yang ada orangnya.
Di belakang tandu terdapat enam anak remaja yang kira – kira umur nya sekitar 12 – 14 tahunan dimana ke enam anak tersebut kompak menggunakan pakaian penari jawa kuno dengan atasan berwarna merah dengan selendang berwarna kuning. Tampilan penari tersebut sempat membuat Sania dan Rihan berdecak kagum karena para keenam anak tersebut semua sangat cantik dan menawan.
Di bagian terakhir dari barisan tersebut terdapat beberapa bapak – bapak dan ibu yang nampaknya seperti seorang abdi kerajaan dengan pakaian dan penutup kepala yang menyerupai blankon yang berwarna serba hitam sambil membawa obor yang terbuat dari bambu.
Pada akhirnya barisan tersebut menuju panggung di tengah lapangan tersebut. Pemegang pentungan yang terus memukul pentungan tersebut dan Para tandu diantarkan hingga berada di samping panggung dan dua orang tersebut akhirnya duduk di kursi kayu yang ada di atas panggung. Sedangkan untuk kursi kosong seorang abdi akhirnya menutupinya dengan kain berwarna merah yang sangat lebar hingga akhirnya seluruh kursi kosong tersebut tertutup dengan kain tersebut.
Para penari dan pembawa cawan tanah liat berasap itu duduk tak jauh di depan panggung tersebut sedangkan para abdi yang berpakaian serba hitam tersebut duduk melingkari para penari dan pembawa cawan tersebut.
“Rihan coba kamu lihat yang duduk di salah satu kursi, itu bukannya Pak Dirgan Bupati Karangwarna ya?!” Tanya Sania panik sambil menyerahkan teropong yang baru digunakan ke Rihan.
“Benar San, itu Pak Dirga, kenapa dia ada di sini?” Jawab Rihan yang sambil tetap berusaha merekam seluruh peristiwa di lapangan dengan handphone-nya.
Sania dan Rihan merasa setiap yang terjadi di tengah lapangan semakin lama semakin aneh. Mereka berusaha memperhatikan apa yang terjadi di sana dari balik pepohonan yang menutupi keberadaan mereka. Semakin waktu berjalan, udara di sana semakin dingin, namun hal tersebut tidak membuat baik Sania atau pun Rihan patah semangat dengan tujuan mereka ke sana.
Kali ini di atas panggung sedang ada ritual aneh, di atas kain merah yang menutupi kursi kini seekor ayam dan angsa disembelih oleh tiga abdi yang kini ada di atas panggung dan darahnya dibiarkan mengalir membasahi kain merah tersebut. Si pembawa pentungan semakin mempercepat bunyi pentungannya namun dengan tempo yang rapi.
Ketika pada abdi ini turun dari panggung dengan berjalan mundur tiba – tiba dari balik kain tersebut mulai muncul perlahan seperti sebuah manusia. Sania atau pun Rihan tidak pasti karena selain tertutup kain, tinggi dari makhluk tersebut jauh lebih tinggi dari Pak Dirgan atau pun satu orang lagi yang duduk di atas panggung. Tidak Normal.
Dengan kemunculan sosok makhluk tersebut membuat salah satu abdi yang berdiri tepat disamping panggung berdiri dan berkata sesuatu. Sania dan Rihan tidak jelas mendengarnya karena tak hanya jarak tetapi terlalu banyak yang harus mereka perhatikan.
Setelahnya para pemegang cawan mulai berdiri dan mulai menaiki panggung satu per satu, tepat di depan kursi yang kini berisi sosok misterius tersebut mereka bergilir seolah – olah sembah sujud ke makhluk tersebut sambil berusaha agar cawan tersebut tidak terjatuh.
Keluar dari panggung para pemegang cawan duduk bersebelahan tepat di samping para penari. Namun hal tak terduga terjadi. Setelah beberapa saat untuk pertama kalinya pentungan tersebut tidak dipukul lagi, gema pentungan yang selama ini ada langsung hilang. Dan tak butuh waktu lama para pemegang cawan berdiri dan mulai menumpahkan isi cawan yang mungkin berisi arang terbakar, sabut kelapa, dan sejenis nya ke para penari.
Keheningan yang ada tiba – tiba terpecahkan oleh suara jeritan para penari perempuan muda tersebut. Tidak dibutuhkan kecerdasan untuk mengetahui bahwa para penari tersebut menderita karena kesakitan.
“SAKIIIT!!!” “TOLOONG!!!” “AMPUUUN!!!” dan banyak kata – kata lagi yang keluar yang menggambarkan penderitaan mereka seakan – akan mereka sedang dibakar hidup – hidup.
Sania dan Rihan yang melihat terkejut dan bingung harus melakukan apa. Di satu sisi Rihan mulai terlihat emosi namun Sania mengingatkannya dengan wajah histeris serta manahan tangis untuk tidak melakukan apa pun sesuai pesan Pak Edgar.
Kini pentungan kembali dibunyikan dengan dipukul sangat keras dan berantakan. Para Abdi tiba – tiba berkidung dengan suara berat namun tempo yang sangat lambat seolah berusaha melawan ketidak-beraturan dari suara pentungan. Para penari tersebut tiba – tiba pada berjatuhan dan diam tak mengeluarkan sepatah kata pun lagi.
Pentungan kembali ke tempo pelan dan para abdi tetap berkidung dengan suara berat serta tempo lambat. Satu per satu penari mulai bangkit berdiri dan menari. Tarian mereka aneh, seolah seperti sedang mabuk. Mereka menari dengan lambat dan mata tertutup. Kemudian para penari mulai memanjat tiang kayu yang ada dengan sangat mudah.
Seolah – olah tubuh mereka sangat ringan. Ntah kenapa ketika para penari mulai menari di atas papan kecil di atas tiang tersebut kini jumlah penarinya ada tujuh. Sania pun bingung apa dia salah mengitung atau bagaimana.
Setelah beberapa saat ketujuh penari menari di atas, para pasukan dengan tombak mulai berdiri dari duduknya. Dan kemudian satu per satu para penari berjatuhan dari tiang tinggi tersebut.
Sania tak mampu melihatnya dan dia reflek memeluk Rihan dan menyembukan wajahnya di dada Rihan. Apa yang disadari Sania adalah tubuh Rihan bergemetar sambil memegang hape dan itu bukan karena dinginnya suasana tetapi karena Rihan melihat para pembawa tombak mulai menusukan tombak ke para penari beberapa kali. Kekejaman itu tidak berakhir sampai di situ, seakan para prajurit yakin para penari sudah mati salah satu dari mereka langsung berteriak.
“Tujuh yang mulia!!! Tujuh penari yang mati!!!!”
Sania sudah tak sanggup melihat kejadian berikutnya, dia menangis tersentak di dada Rihan. Namun Rihan dengan badan bergemetar akibat emosi dan kekacuan pikirannya dia tetap berusaha merekam kejadian demi kejadian.
Setelah teriakan tersebut, para abdi sontak berteriak bahagia dan Pak Dirgan bertepuk tangan dan menyelamati orang disebelahnya seakan-akan ini seperti sebuah kemenangan mereka atas perang dengan musuh besar mereka.
Belum selesai uforia kesenangan mereka tiba – tiba seorang abdi berdiri dengan sebuah pisau golok besar dan berjalan menuju salah satu penari. Dengan kejinya abdi tersebut menjambak penari tersebut hingga kepala nya dan sebagian badannya terangkat kemudian memenggal kepala penari tersebut dan menaruhnya di salah satu cawan.
Penjaga cawan tersebut mengambil cawan yang berisikan kepala salah satu penari dan menaiki panggung kemudian dengan sembah sujud dia melanjutkan menaruh cawan berisikan kepala di depan makhluk besar yang tertutupi kain merah.
Tepat saat kaki penjaga cawan meninggalkan panggung dengan gaibnya makhluk di balik kain tersebut tiba – tiba hilang lenyap dan kain pun kini kembali hanya menutupi kursi tersebut.
Tak lama kemudian tandu pun mulai disiapkan dan Pak Dirgan serta satu orang lagi menaiki tandu nya masing – masing.
Dengan pentungan masih berbunyi rombongan tersebut mulai meninggalkan lapangan kosong di kaki gunung tanpa mempedulikan para penari yang tergeletak di sana. Perlahan barisan tersebut mulai menghilang dan akhirnya suara pentunganpun tak terdengar lagi.
Sania yang seolah kini sudah mampu menguasai dirinya mulai beranjak berdiri dan bersiap melihat para mayat dari penari – penari muda tersebut. Rihan sempat mengkhawatirkan kondisi Sania tetapi akhirnya dia pun melihat tekad Sania seperti sudah kembali.
Di tengah lapangan Rihan memfoto kondisi sekitar termasuk mayat ke tujuh penari. Ternyata setelah diperhatikan dari semua penari tersebut enam menggunakan atasan berwarna merah dan satu berwarna hijau. Dan penari yang dipenggal kepalanya adalah yang berpakaian atasan hijau. Sania mencoba menuju ke atas panggung dimana bagian kepala penari tersebut ada.
Dan setelah melihat wajah penari yang berlumuran darah Sania tak mampu membendung tangisnya lagi. Rihan yang melihatnya langsung datang menghampirinya dan memeluknya untuk memenenangkan Rihan.
“Manusia psikopat keji apa sebenarnya mereka Han?!” tanya Sania penuh dengan gejolak emosi ke Rihan.
(Bersambung)